Oleh: Leo Suryadinata
(hal 269) Indonesia sudah dikenal sebagai negara otoriter. Pada tahun 1965 Suharto sudah mengatur kenegaraan. Bagaimanapun beberapa pengamat mempertahankan bahwa beberapa tahun terakhir rezim otoriter muncul dengan baik dibuktikan dengan melemahnya peran ABRI Indonesia dalam proses politik. Presiden Suharto ditunjuk beberapa personil militernya pada kabinetnya tahun 1993 dan dipilih oleh masyarakat untuk menjadi ketua umum GOLKAR, dia juga mengurangi komposisi militer dari GOLKAR pada tingkat nasional dan jumlah wakil militer di DPR yang akan datang. Kenaikan dari Dr.B. J. Habibie dan ikatan cendikiawan muslim indonesia, ICMI juga telah digunakan untuk mendukung titik ini.
Contoh lain dari demokrasi adlah tingginya frekuensi demo dari buruh dan mahasiswa dalam beberapa tahun terakhir. Sementara partai politik berdemonstasi untuk kebebasan yang lebih. PDI, untuk contoh PDI telah memilih ketua nya sendiri, yaitu Megawati Soekarnoputri mengalahkan kandidat terbaik dari pemerintah dan Abdurachman Wahid yang telah menerima kritik sebagai presiden memenangkan pemilihan kembali sebagai ketua NU meskipun pilihan pemerintah untuk kandidat lain. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak sekali organisasi kuasi-oposisi diantara kaum elit yang mapan diantaranya persatuan cendikiawan pembangunan pancasila (PCPP), dan yayasan Kerukunan Persaudaraan Kebangsaan (YKPK). Yang paling terakhir ditambahkan adalah komite independen pemantau pemilu (KIPP). (hal 269)
(hal 270) Ada banyak pandangan mengenai alasan untuk penerimaan pemerintah demokratisasi. Salah satu argumen adalah bahwa 30 tahun dari program pembangunan yang berorientasi pemerintah Orde Baru telah melahirkan kelas menengah yang ingin berpartisipasi dalam proses politik dan menuntut demokratisasi atau “liberalisme.” Namun, argumen sebaliknya melihat kelas menengah di Asia sebagai liberal di orientation politiknya. Tapi terlepas dari pandangan-pandangan yang kontras, definisi kelas menengah juga bermasalah.
Beberapa menggunakan istilah untuk merujuk pada pedagang kecil Muslim, PNS, profesional, dan perwira militer, sementara yang lain bersikeras bahwa kelas menengah harus terdiri dari profesional dan pengusaha. Berdasarkan definisi Barat, kelas menengah di In donesia masih lemah. Pada tahun 1990 Indonesia diklasifikasikan sebagai “profesional dan teknis” dan “manajer dan administrator” hanya merupakan 3,9% dari populasi.
Konsep kelas menengah ini lebih rumit oleh faktor etnik, sebagai profesional / kewirausahaan kelas Indonesia memiliki non pribumi yang kuat ( yaitu, etnis Cina) komponen. Karena minoritas etnis Cina bukan unsurberlawanan yang kemakmuran ekonominya sangat banyak mengalami belas kasihan pejabat pemerintah, tidak mungkin untuk menuntut perubahan politik yang cepat membahayakan kepentingan ekonominya. Kelas menengah pribumi Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan Cina, dan banyak dari anggotanya tergantung pada pejabat pemerintah untuk kebaikan beberapa putra dan putri pegawai pemerintah yang telah memperoleh fasilitas dari rezim. (hal 270)
(hal 271) Mengidentifikasi kelas menengah di Indonesia lebih bermasalah ketika konsep ini terkait dengan demokratisasi. William Liddle telah berkomentar, tidak mengherankan, bahwa “kita perlu waspada terhadap profesional menetapkan dan pengusaha yang berperan sebagai ‘kelas menengah’ (jika mereka tengah, yang atas) berdasarkan model klasik tentang bagaimana masyarakat berfungsi dan perubahan. Oposisi utama berasal dari kelompok Muslim, yang tidak selalu milik kelas menengah. Muslim penduduk kota ingin meningkatkan posisi ekonomi mereka tetapi tidak memiliki kekuatan untuk mengubah sistem politik. Namun demikian, kehadiran mereka mulai dirasakan karena outspo-kennes mereka. Aspirasi mereka, apabila tidak menarik, sedang diartikulasikan oleh organisasi non governmental (LSM), yang telah meningkat jumlahnya dalam 20 tahun terakhir untuk sekitar 7.000 di antaranya 2.800 terletak di Jakarta. Lebih baik, mampu mengartikulasikan isu-isu utama di Indonesia dan berfungsi sebagai kelompok penekan, tapi mereka belum efektif dalam memperkenalkan perubahan sosial politik. Namun, mereka tidak sepenuhnya diabaikan, terutama ketika politik elit di Indonesia tidak lagi bersatu. Mungkin, Suharto mengakui munculnya kekuatan potensi politik ini dan telah membuat beberapa konsesi kepada kelompok Muslim moderat untuk mengkooptasi para gerakan yang Islam dan akhirnya memenangkan dukungan. Kebijakan akomodasionis pemerintah terhadap kelompok-kelompok Muslim moderat telah terasing oleh arus utama pembentukan militer, yang dinilai sebagai ancaman terhadap peran ganda militer. Oleh karena itu, ada perpecahan antara Suharto dan beberapa perwira ABRI atas kebijakan presiden terhadap Islam. Contoh yang paling mencolok adalah pergumulan antara kelompok Suharto yang disponsori dan kelompok anti-Soeharto dalam Golkar.
Golkar dan Demiliterisasi
Masyarakat Indonesia mengalami militerisasi setelah likuidasi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan setelah jatuhnya Soekarno pada tahun 1965, serta proses penggantian warga sipil dengan militer . Militer menganggap ini adalah wujud nyata dari “dwifungsi” doktrin, di 1971 pemilihan. Tidak mengejutkan, Golkar sebagai partai pemerintah memiliki dukungan penuh dari militer dan birokrasi, yang memenangkan 62,8% suara. Melihat struktur Golkar sudah jelas bahwa pimpinan pusat berada di tangan militer, yang merupakan memegang posisi kunci. (hal 271)
(hal 272) ……. (hal 272)
(hal 273) ……. (hal 272)
(hal 274) Hanya tiga orang pensiunan militer yang kembali menjadi pimpinan pusat baru : Ary Mardjono adalah seorang sekretaris Jenderal dan Mochtar dan Abdul Gafur adalah orang-orang yang termasuk kedalam delapan ketua/pimpinan. Mereka bertiga dikenal sebagai figur margin oleh militer, kebanyakan orang dari militer bahkan tidak tahu bahwa Gafur adalah seorang militer.
Menurunnya pengaruh militer di Golkar menghasilkan ketidakpuasan di kalangan aparat, dan adanya pemisahan di dalam tubuh ABRI. Beberapa pihak menentang dewan pusat sementara yang lain menerimanya. Penentang yang paling kuat disuarakan oleh Mayor Jenderal R.K. Sembiring Meliala, mantan komandan divisi Cendrawasih dan anggota parlemen yang mewakili ABRI, yang didukung oleh Rudi, mantan Kepala Staff Tentara dan Menteri dalam Negeri (1988-92). Namun fraksi ABRI di parlemen berusaha untuk menjauhkan diri dari Sembiring. Meskipun struktur baru dewan pusat Golkar adalah bukti proses demilitarisasi dalam partai. 78% cabang Golkar masih dibawah kendali militer seperti yang ditunjukkan oleh ketidaksepakatan awal mereka dengan pencalonan Harmoko sebagai Jenderal. Demikian, demilitarisasi hanya mengambil tempat pada tingkat nasional.
Banyak warga Indonesia melihat demilitarisasi sebagai langkah yang diperlukan untuk demokrasi berkuasa, tapi itu bisa menjadi proses yang panjang dengan banyak halangan di sepanjang jalan. Untuk suatu hal, konsep fungsi ganda angkatan bersenjata, yang menjadi hukum pada 1982 masih dianggap sebagai landasan politik Indonesia. Kita juga harus mengamati hubungan antara dewan pusat dan daerah Golkar untuk menilai apakah mereka akan mampu atau tidak bekerja sama untuk mencapai kestabilan politik. Terlepas dari pemisahan antara tingkat nasional, faktor yang paling menarik adalah peran Soeharto. Kongres Golkar tahun 1993 memberikan indikasi yang jelas bahwa kepala pengawas adalah sebagai yang tertinggi dan sebagai pembuat keputusan. Sementara telah ada demiliterisasi di satu tangan, di sisi lain menjadi konsentrasi kekuasaan di tangan Soeharto. Dibawah instruksinya, Golkar mulai membersihkan perorangan yang dekapt terhadap kelompok militer, dan hasilnya lumayan berhasil. Bahkan, Sembiring, Jenderal yang kritis terhadap demiliterisasi dari Golkar, dilaporkan telah dihapus. Soeharto bisa mengendalikan militer terbukti dari langkah-langkah untuk melemahkan kelompok Benny Murdani dan mengorganisasi ulang Badan Intelijen Militer. (hal 274)
(hal 275) Kekuasaan Tertinggi dan Islam
Dibandingkan dengan demokratisasi, yang lebih akurat untuk mencerminkan situasi pada masa itu adalah keterbukaan. Dan Soeharto lah yang telah mengendalikan prosesnya. Setelah 30 tahun berkuasa, Soeharto dan kepresidenan telah menjadi searti. Dibawah UUD 1945,kepresidenan Indonesia mempunyai kekuatan yang luar biasa, Beliau adalah komandan teritnggi dari angkatan bersenjata dengan wewenang mengangkat dan menurunkan angkatan militer.
Sejak tahun 1970, Soeharto telah mampu mendirikan banyak yayasan yang mengkontrol kekayaan Indonesia. Beliau dan istrinya menemukan sedikitnya tujuh yayasan besar untuk menaikkan dana untuk sosial budaya dan kegunaan politik: Yayasan Dharma Sosial, Yayasan Supersemar, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Abadi Bhakti, Yayasan Purna Bhakti Peritiwi, Yayasan Harapan Kita , dan Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan. Anggota keluarga Beliau adalah pemegang yayasan ini yang telah memberikan Soeharto dana yang besar untuk keperluan pribadi dan kegiatan politik. Presiden bahkan menawarkan monopoli untuk beberapa konglomerat Indonesia sebagai balasan untuk kontribusi yang sangat besar pada dana ini. Beliau mampu melakukan ini karena Beliau telah menjaga kepentingan para pekerja militer; bahkan pensiunan pekerja pejabat tinggi akan menikmati beberapa manfaat selama mereka tidak berlawanan dengan presiden.
Tidak diragukan telah ada pergeseran yang signifikan pada kebijakan Soeharto kepada para Muslim, tercermin pada pengurangan jumlah para Kristen dalam parlemen dan sebagai cabinet mentri pada tahun 1990 dan pembentukan ICMI. Pada awal 1995, Soeharto mengangkat Hartono yaitu Jenderal dengan latar belakang santri (muslim taat) yang diketahui bersimpati pada Muslim( terutama kepada ICMI) menjadi kepala para pegawai tentara menggantikan kakak ipar sang presiden yaitu Jenderal Wismoyo. Islam sebagai agama telah menjadi lebih kuat dari sebelumnya dan bahkan Soeharto sendiri pergi melaksanakan haji pada 1992 tepat sebelum pemilihan jenderal. (hal 275)
(hal 276) pergi untuk melakukan haji tahun 1992 sebelum pemilihan umum. Tutut (putrinya) juga memakai pakaian Islam untuk memperkuat mandat Islam nya. Namun demikian, Suharto masih jauh untuk menjadi seorang santri. Ia bertahan pada ideologi negara Pancasila (lima prinsip), yang tidak termasuk agama negara. Bahkan, ia telah sangat keras terhadap orang-orang yang ingin mengubah Indonesia menjadi negara Islam. Namun demikian, promosi tentang Islam dalam beberapa tahun terakhir menimbulkan pertanyaan: Apakah ia mampu mengendalikan pertumbuhan kekuatan Islam? Apakah dia bisa mengontrol pemaksaan ini jika berubah menjadi gerakan politik yang kuat? Mungkin ia merasa cukup yakin bahwa ia mampu melakukannya, meskipun beberapa jenderal mungkin tidak sependapat dengannya.
Kelompok muslim, pada kenyataannya telah mengambil keuntungan dari situasi baru di dalam kepemimpinan Soeharto di Indonesia. Di masa lalu, umat Islam yang sadar politik berusaha menggunakan “politik Islam” untuk memperoleh kekuasaan melalui partai dalam perjuangan politik islam mereka, tetapi strategi ini gagal. Pada 1990-an, mereka telah mengadopsi strategi “Politik Muslim” untuk memperoleh kekuasaan melalui calon Muslim ulang dari beberapa afiliasi partai mereka dan telah mencatat keberhasilan yang mengesankan. Kelompok-kelompok Kristen yang cukup berpengaruh di kabinet dari masa lalu telah dihapus secara efektif. Penghapusan tiga orang kuat Kristen dikenal sebagai RMS (Radius Prawiro, Adrianus Mooy, dan Johannes Sumarlin) adalah ttik kasus di kelompok Muslim.16 kelompok muslim juga telah disusup oleh Golkar untuk diperluas bahwa partai telah mengakuisisi semakin bertambahnya Islam daripada abangan. Identitas Islam Suharto menyatakan bahwa ia adalah haji dan telah mengadopsi nama Islam Muhammad, telah ditekankan dalam publikasi Golkar sendiri.
Beberapa pengamat mempertahankan telah terjadi pergeseran bertahap dari sekularisasi ke Islamisasi sejak akhir 1980-an, meskipun Suharto telah sangat tegas dalam memisahkan agama (Islam) dari politik. Namun demikian, pergeseran ini telah memfasilitasi Islam sebagai agama. Banyak masjid telah dibangun, bahkan di desa-desa terpencil, yang menciptakan kesan bahwa masyarakat Indonesia telah terwujud menjadi santri. Pada orang Jawa di masa lalu yang merupakan sekitar 50% dari penduduk Indonesia, dibagi antara abangan (mayoritas) dan santri. abangan adalah Muslim nominal sementara santri merupakan orang yang saleh dan ketat dalam praktik Islam. Partai-partai politik dibagi sepanjang garis sosial keagamaan, tetapi militer terutama perwira tinggi, didominasi oleh abangan. Setelah kebangkitan Islam dari akhir 1970-an dan awal 1980-an, semakin banyak anak-anak dari abangan menjadi santri-terwujud. Bahkan angkatan bersenjata sekarang memiliki jenderal santri: Try Sutrisno (wakil presiden), Feisal Tanjung (Panglima ABRI), dan Hartono (Kepala Staf Angkatan Darat) berasal dari latar belakang ini.(hal 276)
(hal 277) Namun masih terlalu awal untuk berbicara tentang pengaruh islam, jika tidak dikontrol lewat militer. Cukup jelas bahwa Suharto mempromosikan beberapa santri untuk menyeimbangkan pihak abangan dan non-muslim tapi malah yang muncul pihak santri masih menjadi minoritas dan perlawanan diantara mereka terus berlanjut.
Suksesi Politik dan Demokratisasi
Jika Suharto telah memulai strategi merayu Muslim, ia juga telah berusaha untuk memperluas basis politiknya dengan rekonsiliasi dengan lawan politiknya. Di awal 1990-an, dengan bantuan Habibie, ia mulai merayu Petisi 50 (kelompok 50 adalah para pensiunan perwira senior dan mantan politisi) yang menandatangani petisi pada tahun 1980 yang sangat kritis terhadap interpretasi Pancasila oleh Soeharto.
Presiden terus mengontrol partai oposisi dengan mendukung kandidat yang mendukung pemerintah; Namun, beberapa kandidat yang didukung pemerintah dalam beberapa tahun terakhir belum berhasil. Contohnya, Abdurrachman Wahid telah terpilih kembali menjadi ketua Nahdlatul Ulama (NU) meskipun bertolakbelakang dengan pesanan pemerintah, dan Megawati Soekarnoputri, putri Soekarno, terpilih kepala PDI pada tahun 1993, tetapi terus ditolak oleh pemerintah. Dia akhirnya digantikan pada tahun 1996 dengan Soerjadi, yang lebih kooperatif dengan pemerintah Indonesia. Namun demikian, penghapusan Megawati mengakibatkan demonstrasi dan pengambilalihan secara paksa oleh markas PDI, akhirnya memicu 27 Juli (1996) kerusuhan di Jakarta. Yang paling serius sejak 1974 insiden Malari, kerusuhan tercermin tidak hanya pada ketidakpuasan di antara beberapa penduduk kota tetapi juga ketegangan antara pemerintah Indonesia.
Kritik terhadap pemerintah Soeharto ditoleransi asalkan tidak menyentuh pada isu-isu sensitif, dan media di Indonesia memungkinkan program yang mengkritik beberapa pejabat pemerintahan dan kebijakan publik. “Seputar Indonesia” adalah sebuah program TV biasa yang dihasilkan oleh Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), sebuah perusahaan penyiaran yang dimiliki oleh Bambang anak dari Suharto, yang sering menimbulkan masalah penting. Namun, kritik tidak pernah diarahkan pada kelompok Suharto, dan ketika media cetak menyentuh isu-isu sensitif, Pemerintah tidak ragu-ragu untuk melarang publikasi. Contoh yang paling dikenal adalah tiga majalah dilarang pada tahun 1994 (Tempo, Editor, dan Detik) yang mana membahas isu-isu politik yang sensitif yang melibatkan pemerintahan Suharto. Sebuah publikasi baru, Gatra, dikendalikan oleh kelompok pro-Suharto dan telah diberi izin untuk menggantikan Tempo. Beberapa pengamat berpendapat bahwa Soeharto tidak melawan kritik pers tapi ia hanya bisa menerimanya di balik pintu tertutup. Hal ini juga mengatakan bahwa ia menikmati demokratisasi tetapi mengambil langkah-demi-langkah. Dengan kata lain, Suharto belum siap untuk demokrasi yang sejati, dan proses demokratisasi yang disebut hanya diperbolehkan asalkan tidak mempengaruhikekuasaannya.Suharto masih menjadi pemimpin tertinggi yang tidak memungkinkan orang lain untuk mendiskusikan suksesi politik secara terbuka di Indonesia. Meskipun beberapa pensiunan militer. (hal 277)
(hal 278) Walaupun Soeharto telah berumur 75 tahun, Soeharto masih berkeinginan untuk mempertahankan julukannya sebagai “Raja/Penguasa Jawa” dan tidak ingin turun tahta dari jabatan Presidennya. Padahal banyak orang yang menginginkan masa transisi dari Pemerintahan yang sedang berjalan ke dalam sistem pemerintahan yang baru. Menurutnya, tidak akan ada yang bisa memojokkannya dan beranggapan nantinya akan ada yang mengambil alih posisi kepemimpinan Indonesia bila waktunya telah tiba.
Walaupun banyak kelompok yang telah mencoba untuk membatasi jabatan kepresidenannya, hal itu tetap ditentang olehnya dengan alasan tidak adanya peraturan batasan tentang jumlah kali keikutsertaaan dalam pemilu Presiden yang dilaksanakan tiap lima tahun itu. Dalam otobiografinya yang dipublikasikan pada 1989, Soeharto pernah memberi isyarat peringatan bahwa ia akan turun jabatan jika usianya sudah terlalu tua. Ditambah lagi dengan catatan dari anaknya bahwa upacara Kepresidenan pada tahun 1988 akan menjadi penghadirannya yang terakhir. Akan tetapi peringatan itu nampaknya tidak dipatuhi olehnya sendiri. Pada tahun 1933, ia menjadi Presiden kembali dan tidak ada tanda-tanda bahwa itu akan menjadi masa terakhirnya. Rakyat percaya bahwa ia akan menjadi Presiden hingga tahun 1997.
Sayangnya, kematian Ibu Tien Soeharto pada April 1996 memunculkan banyak keraguan mengenai performa Soeharto beserta keinginannya untuk melanjutkan masa Jabatannya. Banyak yang bilang bahwa hal ini mempengaruhi pilihan Soeharto untuk lanjut. Disamping itu, ada yang bilang kematian Ibu Tien Soeharto tidak berdampak apa-apa terhadap keinginan Soeharto untuk terus menjadi Presiden. (hal 278)
(hal 279) …… (hal 279)
(hal 280) Menantu Suharto, Brigadir Jenderal Prabowo Subianto, pada bulan Desember 1995 ditetapkan sebagai Komandan Kopassus, korps pasukan elit TNI, dan pada bulan Mei 1996 Prabowo berhasil melaksanakan operasi militer yang menyelamatkan enam sandera temasuk orang asing dari para pemberontak Irian Jaya. Pada bulan Agustus 1996, dia dipromosikan menjadi Mayor Jenderal, dan menempatkannya sebagai pasukan termuda yang mampu menduduki posisi tersebut. Prabowo juga aktif mengkader bebeberapa kelompok pemuda, secara khusus dari golongan Islam, dalam rangka menyiapkan masa depan politiknya. Meskipun kesuksesan keluarga Soeharto dalam memperebutkan jabatan Presiden RI akan sangat bergantung kepada kesehatan Presiden Soeharto dan kondisi perekonomian Indonesia.
Kesimpulan
Pendekatan demokratisasi top-down di Indonesia ditujukan untuk mempertahankan sisa-sisa kekuasaan Soeharto. Tidak ada keraguan bahwa perubahan sosial dan ekonomi yang signifikan telah terjadi di masa 30 tahun pemerintahan Soeharto, namun hal ini berimbas pada lemahnya perkembangan institusi demokratis seperti non-governmental organization (NGO). Proses demokratisasi atau keterbukaan politik diambil oleh Soeharto sebagai strategi untuk menghadapi situasi baru yang berkembang sejak era tahun 1980an, seperti misalnya, perpecahan yang nyata di tubuh militer dalam dukungan mereka terhadap Soeharto. Di saat para pensiunan jenderal sangat kritis terhadap Soeharto, sementara pandangan dari perwira aktif militer tak cukup jelas dimana mereka tidak pernah menyampaikan kritik terbuka kepada Soeharto. Perkembangan ini telah memaksa sang presiden merubah strategi dengan mengakomodasi kelompok muslim moderat dan memperluas basis dukungannya untuk mempertahankan kekuasaan. Semenjak akhir tahun 1980an, Soeharto telah memodifikasi kebijakannya terhadap kelompok Islam, dan telah mampu menarik dukungan dari kalangan muslim moderat, khususnya di wilayah pedesaan. Hal ini menarik untuk dicatat bahwa Suharto berusaha untuk mengurangi (daripada menghapus sama sekali) pengaruh militer dan mempeluas basis dukungannya, dia juga menyusun upaya terencana untuk memusatkan kekuasaan di tangannya dengan mengontrol kekuatan politik yang mampu mengukuhkan posisinya sebagai patron politik terkuat di Indonesia. Namun demikian, perpecahan internal di tubuh elit penguasa sangat mungkin berpengaruh kepada institusi Negara. Faktor lain yang menghambat proses demokratisasi adalah kebijakan dwi-fungsi militer. Selama kebijakan dwi-fungsi ini tetap diterapkan, kecil kemungkinan akan terjadi proses demokratisasi yang murni di Indonesia. Di akhir kesimpulan ini, problem suksesi politik menunjukkan bahwa proses demokratisasi di Indonesia belum menyentuh ranah substantif, mengingat Soeharto mampu mengontrol isu suksesi politik dan menahan laju isu ini di ranah publik. Sehingga, demokratisasi yang riil hanya akan muncul di era Paska-Suharto. (hal 280)
Artikel Asli Unduh Disini: Democratization and Political Succession in Suharto Indonesia
Leo Suryadinata, Democratization and Political Succession in Suharto’s Indonesia, Asian Survey, Vol. 37, No. 3 (Mar., 1997), pp. 269-280, Published by: University of California Press